Desember 2024, angin muson membawa aroma petualangan yang tak terlupakan. Dengan tas ransel penuh harapan, saya melangkah ke dermaga Labuan Bajo, tempat sebuah kapal phinisi bernama Prince Lala menunggu. Tiga hari dua malam di atas kapal ini menjadi pintu gerbang menuju alam mimpi yang seolah hanya bisa ditemukan di halaman-halaman buku dongeng.
Hari Pertama: Menyelam ke Dunia Bawah Laut
Pelayaran dimulai dengan riuh rendah debur ombak yang ramah. Destinasi pertama adalah Manjarite, sebuah surga bawah laut yang menyembunyikan keindahan di balik air biru jernihnya. Dengan masker snorkeling, saya menyelam dan menemukan dunia lain. Terumbu karang memamerkan warna-warni yang memukau, seperti kanvas yang tak pernah usang. Ikan-ikan kecil berenang bebas, seolah menari mengikuti alunan ombak. Saya tersadar, di sinilah harmoni kehidupan berlangsung tanpa campur tangan manusia.
Dari Manjarite, Prince Lala melaju menuju Taka Makassar. Tempat ini lebih dari sekadar daratan kecil di tengah laut; ia adalah karya seni alam. Hamparan pasir putih yang timbul tenggelam di antara air biru toska menciptakan lanskap seperti lukisan. Saya berjalan tanpa alas kaki, merasakan butiran pasir yang halus dan dingin. Matahari sore memantul di permukaan air, memberikan kilau keemasan yang membuat suasana terasa magis.
Hari Kedua: Menjejak Keindahan dan Keagungan
Fajar di Pulau Padar memanggil saya untuk trekking. Jalur setapak yang curam dan berbatu menguji stamina, tetapi setiap langkah terasa layak. Saat tiba di puncak, pemandangan spektakuler menyambut. Bukit-bukit berlekuk-lekuk seperti tubuh naga tidur, dikelilingi laut biru pekat yang memukau. Udara pagi yang sejuk membawa aroma dedaunan dan laut, mengisi paru-paru dengan kesegaran yang tak ternilai.
Perjalanan berlanjut ke Pink Beach, pantai dengan pasir berwarna merah muda yang langka. Kembali saya menyelam, kali ini dengan rasa penasaran yang lebih besar. Di bawah permukaan, dunia bawah laut Pink Beach tak kalah memikat. Terumbu karang yang berwarna cerah dipadati oleh ikan-ikan eksotis, membuat saya merasa seperti tamu istimewa di pesta bawah laut.
Pulau Komodo adalah destinasi berikutnya, tempat di mana raja terakhir era prasejarah masih bertahan. Pemandu lokal yang berpengalaman menemani saya, mengisahkan legenda Komodo sambil menunjuk jejak reptil besar itu di tanah. Dan akhirnya, saya melihat mereka — komodo-komodo yang gagah dan menakutkan, berjalan dengan keanggunan yang penuh kewaspadaan. Detik itu terasa seperti menjembatani masa kini dan masa lalu yang purba.
Saat senja tiba, Prince Lala membawa saya ke Pulau Kalong untuk menyaksikan pertunjukan alam yang memukau. Ribuan kalong terbang meninggalkan sarangnya, memenuhi langit dengan siluet hitam di atas rona jingga matahari terbenam. Suara kepakan sayap mereka bercampur dengan debur ombak, menciptakan simfoni alam yang menenangkan.
Hari Ketiga: Salam Perpisahan dari Pulau Kelor
Hari terakhir dimulai dengan trekking di Pulau Kelor. Meskipun jalurnya pendek, tanjakannya cukup menantang. Namun, pemandangan dari puncaknya adalah hadiah terbaik. Laut yang tenang membentang hingga cakrawala, dengan pulau-pulau kecil yang menghiasi permukaannya seperti zamrud. Di sini, saya duduk sejenak, menikmati keheningan yang syahdu sambil merenungkan pengalaman selama tiga hari terakhir.
Saat Prince Lala kembali ke dermaga, saya merasa seperti orang baru. Labuan Bajo bukan hanya tempat; ia adalah perjalanan menuju kedalaman diri, mengingatkan saya untuk bersyukur atas keajaiban alam yang masih lestari. Tiga hari yang singkat ini adalah pelajaran tentang harmoni, keindahan, dan kebesaran alam. Dan saya tahu, suatu saat, saya pasti akan kembali.